I. PENDAHULUAN
I.1.LATAR BELAKANG
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah
satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih
baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Desentralisasi diwujudkan dengan disertai pelimpahan kewenangan kepada
pemerintahan daerah dan transfer dana dari pemerintah. Dorongan desentralisasi
di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: kemunduran
pembangunan ekonomi saat berperannya globalisasi dunia, meningkatnya tuntutan
perubahan tingkat pelayanan publik, dan semakin kentaranya indikasi
disintegrasi akibat kegagalan sistem sentralistis dalam pemberian pelayanan
publik. Untuk menerapkan desentralisasi aspek yang perlu dipertimbangkan adalah
menyangkut aspek fiskal, aspek politik, perubahan administrasi dan sistem
pemerintahan dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Sebagai bagian integral
dalam pelaksanaan desentralisasi adalah terciptanya tata kelola penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance). Dalam rangka mewujudkan good governance itulah, pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi
di bidang pengelolaan keuangan negara.
Hal ini akan mengarah
pada prakondisi kedua, yaitu tuntutan akan pengawasan pengelolaan keuangan yang
lebih sistematis dan komprehensif. Jika selama ini pengawasan secara
konvensional selalu dilakukan melalui pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), maka meningkatnya belanja negara yang dikelola oleh pemerintah
akan juga berimplikasi pada semakin pentingnya perangkat pengawasan yang lain.
Bentuk pengawasan diperlukan baik secara internal melalui Satuan Kerja
Pengawasan maupun secara ekternal melalui pelibatan masyarakat dan
pemangkukepentingan / stakeholders lainnya.
Beberapa prakondisi yang telah dijelaskan tersebut
menjadi semakin kompleks ketika pemerintah meluncurkan peraturan
perundang-undangan terkait penataan kelembagaan (pelembagaan) organisasi
pengelola keuangan daerah dan pengelolan aset daerah. Reformasi
pengelolaan keuangan dimulai dengan berlakunya desentralisasi pada 1 Januari
2001 dengan telah diberinya wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah.
UU 32/2004 (Pengganti UU 22/1999) membagi daerah kabupaten/kota dengan provinsi
secara berjenjang (pasal 2 ayat 1) dengan ketentuan yang lebih menekankan
adanya keterkaitan dan ketergantungan serta sinergi antar tingkat pemerintahan
(pasal 2 ayat 4 dan pasal 11 ayat 2) sesuai dengan Perubahan ke-2 UU 1945
(pasal 18 ayat 1). Pada tahun 2007 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah beserta aturan pelaksanaannya
dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang petunjuk
teknis penataan organisasi perangkat daerah. Menentukan besaran maupun bentuk
kelembagaan pengelola keuangan dan aset daerah, Pemerintah Daerah mendasari
pada aspek kewenangan yang telah ditetapkan dalam UU dan peraturan pemerintah
serta peraturan menteri sebagai aturan pelaksanaannya.
Secara singkat, tantangan reformasi pengelolaan keuangan
tersebut di atas mempunyai implikasi perubahan paradigma sistem pemerintahan
yang telah menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera menciptakan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi di bidang pengelolaan keuangan diharapkan
dapat menjadi perangkat pendukung terlaksananya penerapan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dan kondisi inilah yang menjadi tema besar yang diangkat
dalam kajian ini. Sejalan dengan prinsip reformasi birokrasi yang dicanangkan
oleh pemerintah melalui Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
(MenPAN), maka reformasi di bidang pengelolaan keuangan dalam makalah ini akan
ditinjau dari tiga tingkatan, yaitu:
a.
Kelembagaan (termasuk
peraturan perundang-undangan dan organiosasi pengelolaan keuangan negara/daerah);
b.
Tata kelola pemerintahan
(governance) di bidang keuangan; dan
c.
Pengembangan sumber daya
manusia di bidang keuangan.
Dengan demikian reformasi manajemen keuangan ini tidak
hanya melibatkan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaannya, tetapi sekaligus
berlaku bagi Pemerintah Daerah. Ketiga tingkatan penataan tersebut di atas
digunakan untuk memformulasikan permasalahan yang akan diangkat pada bagian
berikut ini yaitu Struktur Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah yang Efektif dan
Efisien.
I.2.TUJUAN PENULISAN
Tujuan utama pembuatan makalah ini adalah untuk
mengetahui bentuk kelembagaan organisasi pengelola keuangan dan
barang milik daerah sesuai dengan amanat
peraturan perundangan yang berlaku.
I.3.IDENTIFIKASI MASALAH
Untuk mempermudah mengidentifikasi masalah yang dibahas,
maka terdapat
beberapa faktor yang berhubungan.
a.
Mengidentifikasi
kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan oleh organisasi pengelola keuangan dan
barang milik daerah;
b.
Mengidentifikasi struktur
organisasi tata kerja pengelola keuangan dan barang milik daerah; dan
c.
Mengidentifikasi tugas
pokok dan fungsi organisasi pengelola keuangan dan barang milik daerah.
I.4.PERUMUSAN MASALAH
Adanya perubahan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan
daerah telah membawa implikasi terhadap perubahan struktur organisasi tata
kerja pengelola keuangan daerah. Sedangkan disisi lain, Pemerintah juga telah
meluncurkan kebijakan tentang penataan organisasi Pemerintah Daerah. Terkait
dengan hal ini, maka masalah dalam makalah ini dapat diformulasikan sebagai
berikut: “Bagaimanakah bentuk kelembagaan pengelolaan keuangan daerah ditinjau dari sisi
praktek yang terbaik pada kelembagaan, tata kelola, dan sumber daya manusia (
SDM )?”
II. KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR
Dalam Bab II ini akan disajikan kajian
literatur terhadap teori dan studi empiris yang terkait dengan reformasi
birokrasi dan perubahan sistem pengelolaan keuangan daerah. Dua konsepsi besar
yang akan digunakan adalah tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) dan teori institusi.
II.1
DESKRIPSI
TEORITIS
Birokrasi adalah alat organisasi, di mana ia merupakan
suatu otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan.
Birokrasi seringkali dimaksudkan sebagai upaya untuk mengorganisasi secara
teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Penggunaan istilah birokrasi pertama kali diperkenalkan
di abad 17 oleh seorang filsuf Perancis Vincent de Gournay yang menggunakan
istilah “bureaumania”. Istilah ini mempunyai konotasi negatif untuk
menggambarkan perilaku pejabat pemerintah yang cenderung semena-mena, yang
esensinya bukan melayani masyarakat, tetapi melayani kepentingan mereka sendiri
(Albrow, 1996:1-3)1. Sejak saat itu istilah birokrasi dipergunakan secara
meluas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18 (Lay, 1997:24).2 Istilah ini
dengan cepat diadopsi di Perancis dan Jerman dalam makna yang sama dengan
sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie),
Italia menjadi burocratiza dan Inggris menjadi bureaucracy.
Dalam masyarakat ilmu sosial, pembicaraan tentang
birokrasi selalu dikaitkan dengan pemikiran yang dikembangkan oleh seorang
sosiolog Jerman bernama Max Weber selaku peletak dasar tentang konsep
organisasi pemerintahan moderen. Pemikiran Weber merupakan tonggak sejarah yang
sangat penting karena berusaha mengembangkan mekanisme internal dan eksternal
birokrasi yang diharapkan mampu menumbuhkan birokrasi yang efektif dan efisien
yang bekerja untuk kepentingan umum.
Dari pendefinisian di atas,
birokrasi dipandang sebagai sesuatu yang positif. Sebagaimana telah dikemukakan
oleh Weber, bahwa setiap aktivitas yang menuntut kordinasi yang ketat dan
melibatkan sejumlah orang, serta membutuhkan keahlian khusus adalah dengan
menggunakan organisasi birokratik. Birokrasi sangat dibutuhkan; karena
semata-mata mendasarkan pada keunggulan teknis dibandingkan dengan bentuk organisasi
lainnya
Untuk mencapai maksud
tersebut, birokrasi harus
dibangun atas dasar beberapa karakteristik ideal tertentu (Lay, 1997: 32-34)
yaitu pertama adanya spesialisasi atau pembagian kerja. Dalam birokrasi
harus terdapat pembagian kerja yang jelas. Birokrasi perlu dibagi ke dalam
bagian-bagian, yang masing-masing mempunyai fungsi yang khas. Masing-masing
bagian ini dijalankan oleh pegawai yang mempunyai keahlian yang sesuai dengan
bidang tugasnya masing-masing serta harus diberi tanggung jawab yang jelas dan
tegas. Yang tak kalah pentingnya adalah adanya hirarki wewenang. Dalam tubuh birokrasi harus terdapat hirarki dengan
jenjang kewenangan berbentuk piramida yaitu semakin tinggi levelnya dalam
struktur organisasi, maka semakin sedikit orangnya, namun semakin besar
wewenangnya. Adanya hirarki ini memberikan kewenangan yang tegas antara atasan
dengan bawahan, antara yang memerintah dengan yang diperintah, dan antara yang
mengawasi dengan yang diawasi.
Kedua, pengaturan perilaku pemegang jawaban birokrasi. Aturan
main itu merumuskan lingkup tanggungjawab para pemegang jabatan diberbagai
posisi serta menjamin koordinasi berbagai pelaksanaan tugas dari berbagai
kegiatan.
Ketiga, adanya hubungan-hubungan kelompok yang bersifat
impersonalitas. Mekanisme kerja birokrasi juga harus bersifat netral dan impersonal.
Dalam menjalankan kebijakan publik yang ditetapkan oleh politisi dan dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat birokrasi tidak memandang persepsi
personalnya, tidak memandang kaitan personal antara birokrat dengan individu
yang dilayani.
Keempat, adanya kemampuan teknis. Masing-masing bagian birokrasi
dijalankan oleh pegawai yang mempunyai keahlian yang sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing yang biasanya didasarkan pada hasil test dan sertifikat.
Oleh karena itu proses rekrutmen birokrat menjadi sentral dalam membangun sosok
birokrasi yang ideal.
Dan kelima, adanya sistem karir. Untuk membangun individu birokrat
yang akan bekerja sepenuhnya demi kepentingan organisasi, maka Weber
menyarankan penerapan sistem karir. Dalam sistem karir ini promosi dilakukan
atas dasar senioritas dan/atau prestasi. Hal ini sejalan dengan prinsip hirarki
wewenang yang tegas yang berbentuk piramida.
Berdasarkan
gambaran ideal di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengan karakteristik
seperti di atas birokrasi akan bisa berfungsi sebagai sarana yang mampu
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien.
II.2
KERANGKA PIKIR
Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan
di suatu masyarakat atau negara (Balai Pustaka, 2002). Jadi reformasi birokrasi
adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan sistem pemerintahan yang
dijalankan oleh pegawai pemerintah (birokrasi).
Dalam kepegawaian negara, birokrasi adalah salah satu
unsur sumberdaya manusia penyelenggara sistem administrasi pemerintahan. Jadi
birokrasi menjadi salah satu faktor dan aktor utama yang turut berperan dalam
perwujudan clean government dan good governance. Oleh
karena itu posisi dan peran birokrasi menjadi sangat kuat dan dominan, karena
selain berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi juga berpengaruh terhadap
kehidupan politik. Dalam kehidupan ekonomi, kinerja birokrasi berpengaruh pada
tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kehidupan
politik, kinerja birokrasi akan menentukan kualitas pelayanan kepada masyarakat
yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat kepercayaan (legitimasi) kepada
pemerintah.
Dalam proses pembangunan, birokrasi yang kuat dan dominan
tersebut dianggap mempunyai kontribusi yang sangat besar. Dikatakan sebagai
birokrasi dominan, karena birokrasi mampu mengembangkan sayap keterlibatannya
mulai dari perumusan sampai dengan pelaksanaan kebijakan pada level yang paling
bawah. Birokrasi sangat kuat karena mempunyai kekuasaan, baik yang bersifat
otoritas formal, keuangan, informasi dan skill yang memungkinkan
birokrasi untuk ‘memaksakan’ kehendaknya tanpa ada kemampuan masyarakat untuk
menolaknya.
Dengan posisinya yang
kuat dan dominan, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dalam tubuh birokrasi
yang seharusnya “melayani” menjadi “dilayani”. Fenomena ini memunculkan
ketidakefisienan, cenderung, berbelit-belit, kaku, dan lamban, sehingga membuat
birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Atas
dasar itu perlu dilakukan reformasi terhadap birokrasi.
II.3
HIPOTESIS.
Hipotesis penelitian
merupakan dugaan awal/kesimpulan sementara. Dimana dugaan tersebut diperkuat melalui teori/jurnal yang
mendasari dan hasil dari penelitian terdahulu. Berdasarkan pada kerangka pemikiran
teoritis di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah
Terdapat Pengaruh bentuk kelembagaan pengelolaan keuangan daerah ditinjau dari sisi
praktek yang terbaik pada kelembagaan, tata kelola, dan sumber daya manusia ( SDM ).
III. PENGORGANISASIAN
KEUANGAN DAERAH
Sesuai dengan arahan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), APBD
mulai dilaksanakan semenjak Daftar Isian Kegiatan Daerah (DIKDA) dan Daftar
Isian Proyek Daerah (DIPDA) disahkan oleh kepala daerah menjadi dokumen
pelaksanaan APBD. DIKDA dan DIBDA selanjutnya diproses dengan dengan Surat Keputusan
Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar
Uang (SPMU) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Semua proses tersebut
dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja dengan sentralisasi
pengelolaan keuangan di bagian keuangan pada Pemerintah Kab/Kota dan di biro
keuangan di pemerintah Provinsi.
Sedangkan penatausahaan pengelolaan keuangan daerah yang diamanatkan dalam
Kepmendagri No 29/2002 juga hampir sama dengan MAKUDA
walaupun sistem anggaran yang dianut berbeda. APBD mulai dilaksanakan semenjak
Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) disahkan oleh kepala daerah menjadi
dokumen pelaksanaan APBD. DASK selanjutnya diproses dengan dengan Surat
Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah
Membayar Uang (SPMU) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Semua proses tersebut dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja
dengan sentralisasi pengelolaan keuangan di bagian keuangan pada Pemerintah
Kab/Kota dan di biro keuangan di pemerintah Provinsi. Selanjutnya perubahan
mendasar baru terjadi semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan dan Permendagri No 13 Tahun 2003, dimana penyusunan-penyusunan
dokumen pelaksanaan anggaran didesentralisasi di unit kerja (SKPD). Pelaksanaan
APBD dimulai dengan penyusunan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (DPA-SKPD). Berdasarkan DPA-SKPD selanjutnya Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah menerbitkan Surat Permintaan Dana (SPD).
Berdasarkan SPD, bendahara di SKPD menyusun Surat Permintaan Pembayaan untuk
berbagai beban belanja SKPD. Selanjutnya Kepala SKPD sebagai pengguna anggaran
menerbitkan Surat Perintah Membayar sesuai dengan SPP yang telah diverifikasi.
SPM yang telah diterbitkan selanjutnya diajukan kepada kuasa BUD untuk
penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Selanjutnya SP2D digunakan
sebagai dasar untuk mencairkan dana di Kas Daerah.
Dengan adanya reformasi atau pembaharuan dalam sistem perrtanggungjawaban
keuangan daerah, sistem lama yang selama ini digunakan oleh Pemda baik
pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yaitu Manual Administrasi
Keuangan Daerah (MAKUDA) yang diterapkan sejak 1981. Sistem yang lama (MAKUDA)
dengan ciri-ciri , antara lain single entry (pembukuan tunggal), incremental
budgeting(penganggaran secara tradisional yakni rutin dan pembangunan) dan
pendekatan anggaran berimbang dinamis sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan
daerah, karena beberapa alasan antara lain Tahapan Pertanggungjawaban
Pelaksanaan Anggaran yang meliputi :
- Tidak mampu memberikan informasi mengenai kekayaan yang dimiliki oleh daerah, atau dengan kata lain tidak dapat memberikan laporan neraca;
- Tidak mampu memberikan informasi mengenai laporan aliran kas sehingga manajemen atau publik tidak dapat mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan adanya kenaikan atau penurunan kas daerah; dan
- Tidak mampu memberikan informasi tentang kekayaan daerah.
Dimana kami meyakini bahwa beberapa alasan diatas merupakan langkah awal
bagi reformasi Sumber Daya Manusia bidang Keuangan. Dalam menyelenggarakan
kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola keuangan daerah perlu
melakukan pengorganisasian dengan baik. Pada Permendagri 21/2011,
Permendagri 59/2007 dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah dapat diklasifikasikan pada 4 aturan kegiatan
utama, yaitu: 1) perencanaan anggaran yang mencakup penyusunan dan penetapan
anggaran, 2) pelaksanaan anggaran, 3) perubahan anggaran, 4) pertanggungjawaban
pelaksanaan anggaran. Terhadap empat kegiatan utama tersebut juga diatur
ketentuan tentang pengelolaan kas, penatausahaan dan akuntansi serta pelaporan
keuangan daerah. Sedangkan untuk pengawasan pelaksanaan anggaran diatur dengan
ketentuan tersendiri dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengawas Daerah.
Dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan pada jabatan
struktural dan penetapan jabatan fungsional pada Bendahara Umum Daerah, Kuasa
Bendahara Umum Daerah, Pejabat Penatausahaan Keuangan Daerah SKPD (PPK-SKPD)
dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); sering terjadi kondisi di
lapangan yang sulit dihindari bahwa jabatan fungsional masih dirangkap dengan
jabatan struktural, karena itu berikut disampaikan matriks keterhubungan antar
kelembagaan agar dapat dihindari kondisi tersebut.
III.1
Tahap Perencanaan Anggaran
Tahap ini menjelaskan keterkaitan dan konsistensi antara
dokumen perencanaan pembangunan dengan penganggaran. Dokumen yang dihasilkan
dalam tahap perencanaan anggaran, terdiri dari:
a. RKPD yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah merupakan dasar penyusunan APBD berupa
penjabaran RPJMD menggunakan bahan dari
Renja-SKPD untuk jangka waktu satu tahun anggaran, yang memuat kerangka
ekonomi, dan prioritas pembangunan yang terukur dengan mempertimbangkan
prestasi capaian kinerja;
b. KUA dan
PPAS disusun oleh Kepala Daerah dibantu oleh TAPD berdasarkan RKPD dan Pedoman
Penyusunan APBD tahun berkenaan dari Mendagri. KUA memuat kondisi ekonomi makro
daerah, kebijakan (pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah) dan strategi
pencapaian berupa langkah-langkah kongkrit dalam mencapai target. PPAS memuat
skala prioritas program untuk masingmasing urusan beserta plafon anggaran
sementaranya; dan
c. RKA disusun
oleh SKPD berdasarkan SE Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD yang
disiapkan oleh TAPD. Pedoman ini memuat prioritas program/kegiatan tiap SKPD
dan alokasi plafon anggaran sementara, batas waktu penyampaian RKA-SKPD dan
lampirannya yaitu KUA/PPAS, analisa standar belanja dan standar satuan harga.
III.2
Tahap Pelaksanaan Anggaran
Pada tahap ini yang menjadi perhatian adalah realisasi
pendapatan dan belanja daerah dikelola/dikendalikan untuk tidak melebih pagu
anggaran yang telah ditetapkan dan sesuai dengan peruntukkan pada penjabaran
APBD yang telah ditetapkan. Tahap pelaksanaan anggaran mencakup:
a. Penyiapan
pelaksanaan anggaran : menyiapkan dokumen untuk membebankan pada anggaran dalam
penjabaran yang telah ditetapkan;
b. Penyediaan
dana : mempersiapkan ketersediaan dana untuk mendanai program / kegiatan yang dilaksanakan;
c. Penatausahaan
penerimaan daerah : melakukan penatausahaan penerimaan daerah, khusus retribusi
daerah pada SKPD dan lainnya pada PPKD, setelah ditetapkan;
d. Penatausahaan
pengeluaran daerah : melakukan penatausahaan pengeluaran daerah utamanya
belanja daerah, dimulai dengan permintaan pembayaran, perintah membayar dan
pencairan; dan
e. Akuntansi
SKPD dan keuangan daerah : melakukan proses transaksi akuntansi atas pendapatan
dan belanja daerah,mulai dari jurnal, posting, buku besar sampai kepada
penyusunan laporan keuangan.
III.3
Tahap Perubahan Anggaran
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Perubahan Anggaran
dapat dilakukan apabila terjadi:
a. Perkembangan
yang tidak sesuai dengan asumsi KUA (pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi
atas pendapatan daerah, alokasi belanja daerah dan sumber/penggunaan pembiayaan);
b. Keadaan
yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,
antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c. Keadaan
yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam
tahun berjalan;
d. Keadaan
darurat (di luar kendali/pengaruh yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan
diharapkan tidak berulang karena berdampak signifikan terhadap anggaran untuk
pemulihannya); dan
e. Keadaan
luar biasa yang berakibat kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% APBK
III.4
Tahap Pertanggungjawaban
Pelaksanaan Anggaran
Dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran disusun
laporan keuangan, yaitu
a. Laporan
Realisasi Semester Pertama, yaitu:
Laporan Realisasi
Semester Pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD beserta prognosis 6 bulan
berikutnya; Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis 6 bulan
berikutnya.
b. Laporan
Tahunan, yaitu:
Laporan Keuangan
SKPD, mencakup: Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan
Keuangan; Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, mencakup: Neraca, Laporan
Realisasi Anggaran Catatan atas Laporan Keuangan serta Laporan Arus Kas, yang
disusun berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan, untuk dilakukan
pemeriksaan oleh BPK.
Laporan keuangan audited (hasil pemeriksaan BPK) ini oleh kepala daerah
sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan anggaran kepada DPRD untuk
mendapat persetujuan dan dapat dipublikasikan kepada masyarakat.
Bagian terpenting lainnya adalah Analisis Beban Kerja dan Kebutuhan
Personil. Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan dari proses yang
pelaksanaannya bergantung pada komponen utama yaitu Sumber Daya Manusia.
Keutamaan dari Analisis Beban Kerja dan Kebutuhan Personil adalah untuk
memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja
organisasi berdasarkan volume kerja. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan ini
adalah Permendagri No 12 tahun 2008 tentang pedoman analisis beban kerja di
lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
IV. PENUTUP
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah yang
lebih efektif, efisien, akuntabel dan transparan maka diperlukan reformasi di
bidang pengelolaan keuangan daerah dengan cara : 1) penataan peraturan
perundangan-undangan, 2) penataan kelembagaan, 3) penataan sistem pengelolaan
keuangan daerah, 4) pengembangan sumber daya manusia di bidang pengelolaan
keuangan. Dalam perspektif tersebut, studi ini menyimpulkan beberapa temuan;
1. Diperlukan
adanya penggabungan fungsi pengelolaan keuangan daerah agar tercipta koordinasi
yang lebih baik terutama dalam menghasilkan pelaporan keuangan pemerintah
daerah yang komprehensif dan terpadu.
2. Bentuk
kelembagaan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah sebaiknya berbentuk Badan,
hal ini terkait dengan tugas pokok dan fungsinya yang lebih bersifat koordinasi
dan memberikan dukungan dalam pengelolaan keuangan daerah terhadap seluruh SKPD
yang ada sehingga pewadahan fungsi lembaga ini perlu menjadi pertimbangan atas
pilihan bentuk dinas dengan penekanan operasional ke bentuk badan dengan
penekanan fungsi koordinasi.
3. Badan
Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) mempunyai tugas melaksanakan
sebagian kewenangan pemerintah daerah di bidang pengelolaan keuangan dan
kekayaan daerah. BPKKD dipimpin oleh seorang kepala Badan yang selanjutnya
disebut Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang mempunyai tugas
melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah
(BUD).
4. Dalam
menyelenggarakan kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola keuangan
daerah perlu melakukan pengorganisasian dengan baik. Pada Permendagri
21/2011, Permendagri 59/2007 dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah dapat diklasifikasikan pada 4 aturan kegiatan utama, yaitu: 1)
perencanaan anggaran yang mencakup penyusunan dan penetapan anggaran, 2)
pelaksanaan anggaran, 3) perubahan anggaran, 4)
pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.
5. Untuk
meningkatkan efektivitas dan distribusi kerja yang lebih adil maka perlu
dilaksanakan analisis beban kerja pada Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan
Daerah. Analisis beban kerja adalah suatu teknik manajemen yang dilakukan
secara sistimatis untuk memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan
efisiensi kerja organisasi berdasarkan volume kerja. Dasar hukum pelaksanaan
kegiatan ini adalah Permendagri No 12 tahun 2008 tentang pedoman analisis beban
kerja dilingkungan Departement Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.
0 komentar:
Posting Komentar