Breaking News
Loading...
Selasa, 03 September 2013



 I.    PENDAHULUAN
I.1.LATAR BELAKANG
Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi diwujudkan dengan disertai pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan daerah dan transfer dana dari pemerintah. Dorongan desentralisasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: kemunduran pembangunan ekonomi saat berperannya globalisasi dunia, meningkatnya tuntutan perubahan tingkat pelayanan publik, dan semakin kentaranya indikasi disintegrasi akibat kegagalan sistem sentralistis dalam pemberian pelayanan publik. Untuk menerapkan desentralisasi aspek yang perlu dipertimbangkan adalah menyangkut aspek fiskal, aspek politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dalam pembangunan sosial dan ekonomi. Sebagai bagian integral dalam pelaksanaan desentralisasi adalah terciptanya tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Dalam rangka mewujudkan good governance itulah, pemerintah Republik Indonesia melakukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara.
Secara umum reformasi pengelolaan keuangan dilatarbelakangi oleh beberapa prakondisi yang mengarah pada semakin sentralnya posisi pengelolaan keuangan di pemerintah daerah. Prakondisi ini misalnya semakin meningkatnya kebutuhan untuk memperbaharui regulasi, pengawasan pengelolaan keuangan dan terbatasnya sumber-sumber pendanaan. Dari sisi regulasi, kebutuhan penggantian peraturan perundang-undangan keuangan yang masih mengacu pada peninggalan pemerintah kolonial semakin mendesak. Meskipun diskursus penggantian aturan bidang keuangan telah lama dilakukan agar selaras dengan tuntutan jaman, cita-cita tersebut baru terwujud dengan terbitnya Undang-undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Hal ini akan mengarah pada prakondisi kedua, yaitu tuntutan akan pengawasan pengelolaan keuangan yang lebih sistematis dan komprehensif. Jika selama ini pengawasan secara konvensional selalu dilakukan melalui pemeriksaan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maka meningkatnya belanja negara yang dikelola oleh pemerintah akan juga berimplikasi pada semakin pentingnya perangkat pengawasan yang lain. Bentuk pengawasan diperlukan baik secara internal melalui Satuan Kerja Pengawasan maupun secara ekternal melalui pelibatan masyarakat dan pemangkukepentingan / stakeholders lainnya.
Beberapa prakondisi yang telah dijelaskan tersebut menjadi semakin kompleks ketika pemerintah meluncurkan peraturan perundang-undangan terkait penataan kelembagaan (pelembagaan) organisasi pengelola keuangan daerah dan pengelolan aset daerah. Reformasi pengelolaan keuangan dimulai dengan berlakunya desentralisasi pada 1 Januari 2001 dengan telah diberinya wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. UU 32/2004 (Pengganti UU 22/1999) membagi daerah kabupaten/kota dengan provinsi secara berjenjang (pasal 2 ayat 1) dengan ketentuan yang lebih menekankan adanya keterkaitan dan ketergantungan serta sinergi antar tingkat pemerintahan (pasal 2 ayat 4 dan pasal 11 ayat 2) sesuai dengan Perubahan ke-2 UU 1945 (pasal 18 ayat 1). Pada tahun 2007 dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah beserta aturan pelaksanaannya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah. Menentukan besaran maupun bentuk kelembagaan pengelola keuangan dan aset daerah, Pemerintah Daerah mendasari pada aspek kewenangan yang telah ditetapkan dalam UU dan peraturan pemerintah serta peraturan menteri sebagai aturan pelaksanaannya.
Secara singkat, tantangan reformasi pengelolaan keuangan tersebut di atas mempunyai implikasi perubahan paradigma sistem pemerintahan yang telah menuntut Pemerintah Indonesia untuk segera menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi di bidang pengelolaan keuangan diharapkan dapat menjadi perangkat pendukung terlaksananya penerapan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan kondisi inilah yang menjadi tema besar yang diangkat dalam kajian ini. Sejalan dengan prinsip reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), maka reformasi di bidang pengelolaan keuangan dalam makalah ini akan ditinjau dari tiga tingkatan, yaitu:
a.     Kelembagaan (termasuk peraturan perundang-undangan dan organiosasi pengelolaan keuangan  negara/daerah);
b.     Tata kelola pemerintahan (governance) di bidang keuangan; dan
c.      Pengembangan sumber daya manusia di bidang keuangan.
Dengan demikian reformasi manajemen keuangan ini tidak hanya melibatkan Pemerintah Pusat dalam pelaksanaannya, tetapi sekaligus berlaku bagi Pemerintah Daerah. Ketiga tingkatan penataan tersebut di atas digunakan untuk memformulasikan permasalahan yang akan diangkat pada bagian berikut ini yaitu Struktur Kelembagaan  Pengelolaan Keuangan Daerah yang Efektif dan Efisien.

I.2.TUJUAN PENULISAN
Tujuan utama pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bentuk kelembagaan organisasi pengelola keuangan dan barang milik daerah sesuai dengan  amanat peraturan perundangan yang berlaku.

I.3.IDENTIFIKASI MASALAH
Untuk mempermudah mengidentifikasi masalah yang dibahas, maka terdapat beberapa faktor yang berhubungan.
a.     Mengidentifikasi kewenangan-kewenangan yang dilaksanakan oleh organisasi pengelola keuangan dan barang milik daerah;
b.     Mengidentifikasi struktur organisasi tata kerja pengelola keuangan dan barang milik daerah; dan
c.      Mengidentifikasi tugas pokok dan fungsi organisasi pengelola keuangan dan barang milik daerah. 

I.4.PERUMUSAN MASALAH
Adanya perubahan sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah telah membawa implikasi terhadap perubahan struktur organisasi tata kerja pengelola keuangan daerah. Sedangkan disisi lain, Pemerintah juga telah meluncurkan kebijakan tentang penataan organisasi Pemerintah Daerah. Terkait dengan hal ini, maka masalah dalam makalah ini dapat diformulasikan sebagai berikut: “Bagaimanakah bentuk kelembagaan  pengelolaan keuangan daerah ditinjau dari sisi praktek yang terbaik pada kelembagaan, tata kelola, dan sumber daya manusia ( SDM )?”

 
II. KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA PIKIR
Dalam Bab II ini akan disajikan kajian literatur terhadap teori dan studi empiris yang terkait dengan reformasi birokrasi dan perubahan sistem pengelolaan keuangan daerah. Dua konsepsi besar yang akan digunakan adalah tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) dan teori institusi.

       II.1            DESKRIPSI TEORITIS
Birokrasi adalah alat organisasi, di mana ia merupakan suatu otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi seringkali dimaksudkan sebagai upaya untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Penggunaan istilah birokrasi pertama kali diperkenalkan di abad 17 oleh seorang filsuf Perancis Vincent de Gournay yang menggunakan istilah “bureaumania”. Istilah ini mempunyai konotasi negatif untuk menggambarkan perilaku pejabat pemerintah yang cenderung semena-mena, yang esensinya bukan melayani masyarakat, tetapi melayani kepentingan mereka sendiri (Albrow, 1996:1-3)1. Sejak saat itu istilah birokrasi dipergunakan secara meluas dalam kamus politik di Eropa selama abad 18 (Lay, 1997:24).2 Istilah ini dengan cepat diadopsi di Perancis dan Jerman dalam makna yang sama dengan sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie), Italia menjadi burocratiza dan Inggris menjadi bureaucracy.
Dalam masyarakat ilmu sosial, pembicaraan tentang birokrasi selalu dikaitkan dengan pemikiran yang dikembangkan oleh seorang sosiolog Jerman bernama Max Weber selaku peletak dasar tentang konsep organisasi pemerintahan moderen. Pemikiran Weber merupakan tonggak sejarah yang sangat penting karena berusaha mengembangkan mekanisme internal dan eksternal birokrasi yang diharapkan mampu menumbuhkan birokrasi yang efektif dan efisien yang bekerja untuk kepentingan umum.
Dari pendefinisian di atas, birokrasi dipandang sebagai sesuatu yang positif. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Weber, bahwa setiap aktivitas yang menuntut kordinasi yang ketat dan melibatkan sejumlah orang, serta membutuhkan keahlian khusus adalah dengan menggunakan organisasi birokratik. Birokrasi sangat dibutuhkan; karena semata-mata mendasarkan pada keunggulan teknis dibandingkan dengan bentuk organisasi lainnya
Untuk mencapai maksud tersebut, birokrasi harus dibangun atas dasar beberapa karakteristik ideal tertentu (Lay, 1997: 32-34) yaitu pertama adanya spesialisasi atau pembagian kerja. Dalam birokrasi harus terdapat pembagian kerja yang jelas. Birokrasi perlu dibagi ke dalam bagian-bagian, yang masing-masing mempunyai fungsi yang khas. Masing-masing bagian ini dijalankan oleh pegawai yang mempunyai keahlian yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing serta harus diberi tanggung jawab yang jelas dan tegas. Yang tak kalah pentingnya adalah adanya hirarki wewenang. Dalam tubuh birokrasi harus terdapat hirarki dengan jenjang kewenangan berbentuk piramida yaitu semakin tinggi levelnya dalam struktur organisasi, maka semakin sedikit orangnya, namun semakin besar wewenangnya. Adanya hirarki ini memberikan kewenangan yang tegas antara atasan dengan bawahan, antara yang memerintah dengan yang diperintah, dan antara yang mengawasi dengan yang diawasi.
Kedua, pengaturan perilaku pemegang jawaban birokrasi. Aturan main itu merumuskan lingkup tanggungjawab para pemegang jabatan diberbagai posisi serta menjamin koordinasi berbagai pelaksanaan tugas dari berbagai kegiatan.
Ketiga, adanya hubungan-hubungan kelompok yang bersifat impersonalitas. Mekanisme kerja birokrasi juga harus bersifat netral dan impersonal. Dalam menjalankan kebijakan publik yang ditetapkan oleh politisi dan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat birokrasi tidak memandang persepsi personalnya, tidak memandang kaitan personal antara birokrat dengan individu yang dilayani.
Keempat, adanya kemampuan teknis. Masing-masing bagian birokrasi dijalankan oleh pegawai yang mempunyai keahlian yang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing yang biasanya didasarkan pada hasil test dan sertifikat. Oleh karena itu proses rekrutmen birokrat menjadi sentral dalam membangun sosok birokrasi yang ideal.
Dan kelima, adanya sistem karir. Untuk membangun individu birokrat yang akan bekerja sepenuhnya demi kepentingan organisasi, maka Weber menyarankan penerapan sistem karir. Dalam sistem karir ini promosi dilakukan atas dasar senioritas dan/atau prestasi. Hal ini sejalan dengan prinsip hirarki wewenang yang tegas yang berbentuk piramida.
Berdasarkan gambaran ideal di atas maka dapat disimpulkan bahwa dengan karakteristik seperti di atas birokrasi akan bisa berfungsi sebagai sarana yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan secara efektif dan efisien.



       II.2            KERANGKA PIKIR
Reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan di suatu masyarakat atau negara (Balai Pustaka, 2002). Jadi reformasi birokrasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah (birokrasi).
Dalam kepegawaian negara, birokrasi adalah salah satu unsur sumberdaya manusia penyelenggara sistem administrasi pemerintahan. Jadi birokrasi menjadi salah satu faktor dan aktor utama yang turut berperan dalam perwujudan clean government dan good governance. Oleh karena itu posisi dan peran birokrasi menjadi sangat kuat dan dominan, karena selain berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi juga berpengaruh terhadap kehidupan politik. Dalam kehidupan ekonomi, kinerja birokrasi berpengaruh pada tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kehidupan politik, kinerja birokrasi akan menentukan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh pada tingkat kepercayaan (legitimasi) kepada pemerintah.
Dalam proses pembangunan, birokrasi yang kuat dan dominan tersebut dianggap mempunyai kontribusi yang sangat besar. Dikatakan sebagai birokrasi dominan, karena birokrasi mampu mengembangkan sayap keterlibatannya mulai dari perumusan sampai dengan pelaksanaan kebijakan pada level yang paling bawah. Birokrasi sangat kuat karena mempunyai kekuasaan, baik yang bersifat otoritas formal, keuangan, informasi dan skill yang memungkinkan birokrasi untuk ‘memaksakan’ kehendaknya tanpa ada kemampuan masyarakat untuk menolaknya.
Dengan posisinya yang kuat dan dominan, menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dalam tubuh birokrasi yang seharusnya “melayani” menjadi “dilayani”. Fenomena ini memunculkan ketidakefisienan, cenderung, berbelit-belit, kaku, dan lamban, sehingga membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Atas dasar itu perlu dilakukan reformasi terhadap birokrasi.

       II.3            HIPOTESIS.
Hipotesis penelitian merupakan dugaan awal/kesimpulan sementara. Dimana dugaan tersebut diperkuat melalui teori/jurnal yang mendasari dan hasil dari penelitian terdahulu. Berdasarkan pada kerangka pemikiran teoritis di atas, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah Terdapat Pengaruh bentuk kelembagaan  pengelolaan keuangan daerah ditinjau dari sisi praktek yang terbaik pada kelembagaan, tata kelola, dan sumber daya manusia  ( SDM ).


III. PENGORGANISASIAN KEUANGAN DAERAH
Sesuai dengan arahan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), APBD mulai dilaksanakan semenjak Daftar Isian Kegiatan Daerah (DIKDA) dan Daftar Isian Proyek Daerah (DIPDA) disahkan oleh kepala daerah menjadi dokumen pelaksanaan APBD. DIKDA dan DIBDA selanjutnya diproses dengan dengan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ). Semua proses tersebut dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja dengan sentralisasi pengelolaan keuangan di bagian keuangan pada Pemerintah Kab/Kota dan di biro keuangan di pemerintah Provinsi.
Sedangkan penatausahaan pengelolaan keuangan daerah yang diamanatkan dalam Kepmendagri No 29/2002 juga hampir sama  dengan MAKUDA walaupun sistem anggaran yang dianut berbeda. APBD mulai dilaksanakan semenjak Dokumen Anggaran Satuan Kerja (DASK) disahkan oleh kepala daerah menjadi dokumen pelaksanaan APBD. DASK selanjutnya diproses dengan dengan Surat Keputusan Otorisasi (SKO), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar Uang (SPMU) dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ).
Semua proses tersebut dilaksanakan oleh pelaksana kegiatan di unit kerja dengan sentralisasi pengelolaan keuangan di bagian keuangan pada Pemerintah Kab/Kota dan di biro keuangan di pemerintah Provinsi. Selanjutnya perubahan mendasar baru terjadi semenjak diberlakukannya Undang-Undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan dan Permendagri No 13 Tahun 2003, dimana penyusunan-penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran didesentralisasi di unit kerja (SKPD). Pelaksanaan APBD dimulai dengan penyusunan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). Berdasarkan DPA-SKPD selanjutnya Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menerbitkan Surat Permintaan Dana (SPD). Berdasarkan SPD, bendahara di SKPD menyusun Surat Permintaan Pembayaan untuk berbagai beban belanja SKPD. Selanjutnya Kepala SKPD sebagai pengguna anggaran menerbitkan Surat Perintah Membayar sesuai dengan SPP yang telah diverifikasi. SPM yang telah diterbitkan selanjutnya diajukan kepada kuasa BUD untuk penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Selanjutnya SP2D digunakan sebagai dasar untuk mencairkan dana di Kas Daerah.
Dengan adanya reformasi atau pembaharuan dalam sistem perrtanggungjawaban keuangan daerah, sistem lama yang selama ini digunakan oleh Pemda baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yaitu Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) yang diterapkan sejak 1981. Sistem yang lama (MAKUDA) dengan ciri-ciri , antara lain single entry (pembukuan tunggal), incremental budgeting(penganggaran secara tradisional yakni rutin dan pembangunan) dan pendekatan anggaran berimbang dinamis sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan daerah, karena beberapa alasan antara lain Tahapan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran yang meliputi :
  1. Tidak mampu memberikan informasi mengenai kekayaan yang dimiliki oleh daerah, atau dengan kata lain tidak dapat memberikan laporan neraca;
  2. Tidak mampu memberikan informasi mengenai laporan aliran kas sehingga manajemen atau publik tidak dapat mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan adanya kenaikan atau penurunan kas daerah; dan
  3. Tidak mampu memberikan informasi tentang kekayaan daerah.
Dimana kami meyakini bahwa beberapa alasan diatas merupakan langkah awal bagi reformasi Sumber Daya Manusia bidang Keuangan. Dalam menyelenggarakan kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola keuangan daerah perlu melakukan pengorganisasian dengan baik. Pada Permendagri 21/2011, Permendagri 59/2007 dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dapat diklasifikasikan pada 4 aturan kegiatan utama, yaitu: 1) perencanaan anggaran yang mencakup penyusunan dan penetapan anggaran, 2) pelaksanaan anggaran, 3) perubahan anggaran, 4) pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran. Terhadap empat kegiatan utama tersebut juga diatur ketentuan tentang pengelolaan kas, penatausahaan dan akuntansi serta pelaporan keuangan daerah. Sedangkan untuk pengawasan pelaksanaan anggaran diatur dengan ketentuan tersendiri dan dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengawas Daerah.
Dengan memperhatikan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan pada jabatan struktural dan penetapan jabatan fungsional pada Bendahara Umum Daerah, Kuasa Bendahara Umum Daerah, Pejabat Penatausahaan Keuangan Daerah SKPD (PPK-SKPD) dan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK); sering terjadi kondisi di lapangan yang sulit dihindari bahwa jabatan fungsional masih dirangkap dengan jabatan struktural, karena itu berikut disampaikan matriks keterhubungan antar kelembagaan agar dapat dihindari kondisi tersebut.
   III.1            Tahap Perencanaan Anggaran
Tahap ini menjelaskan keterkaitan dan konsistensi antara dokumen perencanaan pembangunan dengan penganggaran. Dokumen yang dihasilkan dalam tahap perencanaan anggaran, terdiri dari:
a.     RKPD yang ditetapkan oleh Kepala Daerah merupakan dasar penyusunan APBD berupa penjabaran  RPJMD menggunakan bahan dari Renja-SKPD untuk jangka waktu satu tahun anggaran, yang memuat kerangka ekonomi, dan prioritas pembangunan yang terukur dengan mempertimbangkan prestasi capaian kinerja;
b.     KUA dan PPAS disusun oleh Kepala Daerah dibantu oleh TAPD berdasarkan RKPD dan Pedoman Penyusunan APBD tahun berkenaan dari Mendagri. KUA memuat kondisi ekonomi makro daerah, kebijakan (pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah) dan strategi pencapaian berupa langkah-langkah kongkrit dalam mencapai target. PPAS memuat skala prioritas program untuk masingmasing urusan beserta plafon anggaran sementaranya; dan
c.      RKA disusun oleh SKPD berdasarkan SE Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD yang disiapkan oleh TAPD. Pedoman ini memuat prioritas program/kegiatan tiap SKPD dan alokasi plafon anggaran sementara, batas waktu penyampaian RKA-SKPD dan lampirannya yaitu KUA/PPAS, analisa standar belanja dan standar satuan harga.

   III.2            Tahap Pelaksanaan Anggaran
Pada tahap ini yang menjadi perhatian adalah realisasi pendapatan dan belanja daerah dikelola/dikendalikan untuk tidak melebih pagu anggaran yang telah ditetapkan dan sesuai dengan peruntukkan pada penjabaran APBD yang telah ditetapkan. Tahap pelaksanaan anggaran mencakup:
a.     Penyiapan pelaksanaan anggaran : menyiapkan dokumen untuk membebankan pada anggaran dalam penjabaran yang telah ditetapkan;
b.     Penyediaan dana : mempersiapkan ketersediaan dana untuk mendanai program / kegiatan yang dilaksanakan;
c.      Penatausahaan penerimaan daerah : melakukan penatausahaan penerimaan daerah, khusus retribusi daerah pada SKPD dan lainnya pada PPKD, setelah ditetapkan;
d.     Penatausahaan pengeluaran daerah : melakukan penatausahaan pengeluaran daerah utamanya belanja daerah, dimulai dengan permintaan pembayaran, perintah membayar dan pencairan; dan
e.     Akuntansi SKPD dan keuangan daerah : melakukan proses transaksi akuntansi atas pendapatan dan belanja daerah,mulai dari jurnal, posting, buku besar sampai kepada penyusunan laporan keuangan.
 
   III.3            Tahap Perubahan Anggaran
Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa. Perubahan Anggaran dapat dilakukan apabila terjadi:
a.     Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA (pelampauan atau tidak tercapainya proyeksi atas pendapatan daerah, alokasi belanja daerah dan sumber/penggunaan pembiayaan);
b.     Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
c.      Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan dalam tahun berjalan;
d.     Keadaan darurat (di luar kendali/pengaruh yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan diharapkan tidak berulang karena berdampak signifikan terhadap anggaran untuk pemulihannya); dan
e.     Keadaan luar biasa yang berakibat kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% APBK

   III.4            Tahap Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran
Dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran disusun laporan keuangan, yaitu
a.     Laporan Realisasi Semester Pertama, yaitu:
  Laporan Realisasi Semester Pertama anggaran pendapatan dan belanja SKPD beserta prognosis 6 bulan berikutnya; Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis 6 bulan berikutnya.
b.     Laporan Tahunan, yaitu:
  Laporan Keuangan SKPD, mencakup: Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan atas Laporan Keuangan; Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, mencakup: Neraca, Laporan Realisasi Anggaran Catatan atas Laporan Keuangan serta Laporan Arus Kas, yang disusun berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan, untuk dilakukan pemeriksaan oleh BPK.

Laporan keuangan audited (hasil pemeriksaan BPK) ini oleh kepala daerah sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan anggaran kepada DPRD untuk mendapat persetujuan dan dapat dipublikasikan kepada masyarakat.
Bagian terpenting lainnya adalah Analisis Beban Kerja dan Kebutuhan Personil. Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan dari proses yang pelaksanaannya bergantung pada komponen utama yaitu Sumber Daya Manusia. Keutamaan dari Analisis Beban Kerja dan Kebutuhan Personil adalah untuk memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja organisasi berdasarkan volume kerja. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan ini adalah Permendagri No 12 tahun 2008 tentang pedoman analisis beban kerja di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.


IV. PENUTUP
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pengelolaan keuangan daerah yang lebih efektif, efisien, akuntabel dan transparan maka diperlukan reformasi di bidang pengelolaan keuangan daerah dengan cara : 1) penataan peraturan perundangan-undangan, 2) penataan kelembagaan, 3) penataan sistem pengelolaan keuangan daerah, 4) pengembangan sumber daya manusia di bidang pengelolaan keuangan. Dalam perspektif tersebut, studi ini menyimpulkan beberapa temuan;
1.     Diperlukan adanya penggabungan fungsi pengelolaan keuangan daerah agar tercipta koordinasi yang lebih baik terutama dalam menghasilkan pelaporan keuangan pemerintah daerah yang komprehensif dan terpadu.
2.     Bentuk kelembagaan pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah sebaiknya berbentuk Badan, hal ini terkait dengan tugas pokok dan fungsinya yang lebih bersifat koordinasi dan memberikan dukungan dalam pengelolaan keuangan daerah terhadap seluruh SKPD yang ada sehingga pewadahan fungsi lembaga ini perlu menjadi pertimbangan atas pilihan bentuk dinas dengan penekanan operasional ke bentuk badan dengan penekanan fungsi koordinasi.
3.     Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) mempunyai tugas melaksanakan sebagian kewenangan pemerintah daerah di bidang pengelolaan keuangan dan kekayaan daerah. BPKKD dipimpin oleh seorang kepala Badan yang selanjutnya disebut Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah (BUD).
4.     Dalam menyelenggarakan kegiatan pengelolaan keuangan daerah maka pengelola keuangan daerah perlu melakukan pengorganisasian dengan baik. Pada Permendagri 21/2011, Permendagri 59/2007 dan Permendagri 13/2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dapat diklasifikasikan pada 4 aturan kegiatan utama, yaitu: 1) perencanaan anggaran yang mencakup penyusunan dan penetapan anggaran, 2) pelaksanaan anggaran, 3) perubahan anggaran,  4) pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.
5.     Untuk meningkatkan efektivitas dan distribusi kerja yang lebih adil maka perlu dilaksanakan analisis beban kerja pada Badan Pengelola Keuangan dan Kekayaan Daerah. Analisis beban kerja adalah suatu teknik manajemen yang dilakukan secara sistimatis untuk memperoleh informasi mengenai tingkat efektivitas dan efisiensi kerja organisasi berdasarkan volume kerja. Dasar hukum pelaksanaan kegiatan ini adalah Permendagri No 12 tahun 2008 tentang pedoman analisis beban kerja dilingkungan Departement Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah.

0 komentar: